Gitanjali untuk Segala Keresahan Hati

April hingga Mei kali ini begitu berkesan, dimulai saat harus berjibaku dengan kerasnya dunia kerja meski sudah bekerja remote (baca: kuliah dan kerja mudah) hingga harus resign dan memulai babak kerja (magang) baru di sebuah studio, lalu ada hati yang mulai gelisah karena terpaut oleh hati yang lain, dan diakhiri oleh kegelisahan hati berebut tiket konser Pandji. Maka selamat menikmati sebuah kilas balik dan semoga dapat mengambil pelajaran baik dari kehidupan saya.

Antara kamu atau sang senja. Sumber : dokumen pribadi
Antara kamu atau sang senja.

April dan Dilema Bekerja

“Bekerja bersama hati, kita ini insan bukan seekor sapi” Ahh rasanya lagu itu cocok menjadi pengingat ketika akan bekerja kembali nanti. Kuliah kerja memang tidak susah, tetapi akan berbeda jika bekerja tidak menggunakan hati dan hanya tergiur pada sebuah gaji. Terlebih jika client tidak puas atas apa yang kamu kerjakan maka ada baiknya undur diri. Sempat gelisah apakah memang harus mengundurkan diri? Sementara banyak hal yang ingin dimiliki dengan hasil kerja keras sendiri.

Maka pada akhir April sebelum ujian memantapkan hati untuk undur diri dari pekerjaan meskipun masih tertarik dengan sebuah gaji dan memutuskan untuk magang pada sebuah studio desain untuk menggali ilmu lebih dalam lagi. Satu minggu sebelum undur diri, sebuah buku sebagai proyek “1 bulan 1 buku” dapat terbeli dengan judul buku Gitanjali atas rekomendasi bung Rizqy.

Tembang Persembahan untuk Hati

Transisi dari bekerja hingga harus fokus kembali kuliah (ujian) nyatanya membuat hati menjadi gelisah. Menghabiskan simpanan gaji terakhir untuk berfoya-foya yang nyatanya masih membuat hati gelisah membuat saya terus mencari apa yang sebenarnya dicari. Hingga pada akhir April saya putuskan untuk membaca buku Gitanjali yang tidak tahu apa maknanya, siapa penulisnya, yang saya tahu buku ini bukanlah sebuah buku kumpulan puisi. Mari saya kenalkan kepada Gitanjali.

Judul: Gitanjali
Penulis: Febrialdi R (@edelweisbasah)
Penerbit: mediakita
Cetakan pertama, 2018

Sejauh apa pun bertualang, perjalanan mengajarkan bahwa hidup memang tidak mudah dipahami tetapi dijalani (hlm. 295)


Adalah Ed, seorang lelaki yang hendak melakukan pendakian The Seven Summits of Indonesia (puncak-puncak tertinggi di Indonesia), untuk ia persembahkan kepada Ine, kekasihnya. Siapa yang tidak pernah menjadi seperti Ed, mempersembahkan sesuatu diluar batas kemampuannya untuk pasangannya. Bukankah itu seperti kewajiban jika mencintai? Harus ada sebuah persembahan.

Tetapi ada yang lebih menarik daripada sebuah kisah klasik romantis antara Ed dan Ine. Penulis mampu menyadarkan dan memberi banyak jawaban atas pertanyaan-pertanyaan para petualang (alam dan cinta). Apakah harus merelakan dia yang sudah tak pernah ada ketika terjadi bencana? Apakah memang niat untuk menjelajah alam sebagai bentuk kebebasan? Apakah arti bertualang hanya sekedar melihat alam?

Sebuah novel dimana kamu akan menyadari apa arti mendaki sebuah gunung, bagaimana harus bersikap saat jatuh cinta dan patah hati, serta apa tujuan hadir di dunia ini. Dikemas dengan gaya bahasa yang sederhana dan tokoh Ed yang pecundang dapat membawa emosi masuk ke dalam jiwa serta candaan khas anak muda para pendaki gunung, membuat saya tidak bisa berhenti untuk terus membaca hingga akhir.

"Dirimu adalah semesta, tempat aku ingin berkelana.
Hatimu adalah rumah, tempat aku ingin tinggal selamanya."

Saya rasa sudah cukup perkenalan dengan Gitanjalinya, masih belum ingin membaca buku ini? Jika bukan seorang petualang ataupun pencari obat kegelisahan saya kira wajar, selain itu tidak ada alasan untuk tidak membaca buku ini. Dan semoga setelah membaca buku ini kita dapat mengambil segala pesan yang ingin disampaikan oleh penulisnya

Mei dan Perebutan Hati

comments powered by Disqus