Badai di Bulan Juli

Bulan ini menjadi bulan yang sangat melelahkan, bukan karena lelah fisik tetapi lelah mental. Saya menjadi percaya bahwa mental lebih utama daripada fisik, ketika mental melemah maka sekuat apapun fisik tetap ikut melemah. Jika banyak pujangga sering melontarkan kalimat “hujan di bulan Juni”, pada tingkatan ini saya merasa “Badai di bulan Juli”, bukan karena saya kehilangan seseorang yang saya sayangi namun kehilangan sesuatu yang juga sangat berarti.

Dimulai dari akhir Juni ketika perasaan gelisah mulai hadir, saat masih berproses dalam berkarya. Mungkin saya tidak menyadari bahwa saya belum sepenuhnya menghargai sebuah proses dalam berkarya padahal hal tersebut sangatlah penting, kembali menjadi tidak percaya akan proses yang harus dilalui sehingga membuat bosan dan lelah yang datang menghampiri. Atau mungkin saya hanya ingin diapresiasi atas hasil karya saya, baik dengan pujian ataupun dengan uang yang dapat dihasilkan.

Disisi lain, kegelisahan yang saya alami berdampak pada jam tidur yang berantakan dan jadwal kuliah yang jor-joran. Tidur diatas jam 2 atau setelah shubuh seperti menjadi kebiasaan. Makanan sehat? Jika nasi telor aa’ burjo (warung kopi) dapat dikatakan sehat maka sering kali saya makan seperti halnya anak kos padahal saya tinggal bersama bibi dan nenek saya. Lalu kenapa saya memilih makan di burjo (warkop)? Pertemanan, saya sangat benci ketika suasana suram ditambah dengan kesendirian, maka jalan satu-satunya adalah mengunjungi dan menginap bersama kawan dan makan seadanya (burjo). Itu bukanlah hal yang buruk untuk kesehatan, yang terburuk adalah kebiasaan merokok saya yang dulu sudah jarang bahkan berhenti menjadi aktif kembali dan sering.

Hujan di bulan Juni berlalu, namun badai datang di bulan Juli. Titik puncak jenuh dan bosan akan segalanya(beruntung tidak termasuk hidup saya) mulai saya rasakan, padahal saat itu ujian akhir akan dimulai. Jika kamu menyarankan butuh refreshing atau hiburan, saat itu saya dan kawan melarikan diri ke kaki gunung merapi hanya untuk meminum kopi dan bercerita tentang pengalaman pribadi. Seharusnya saya termotivasi karena cerita kawan saya yang sangat jauh dari kata beruntung, tapi nyatanya hanya bertahan 3-5 hari saja. Hingga akhir bulan Juli, rasa percaya diri dan motivasi mulai tumbuh kembali, mungkin karena dia yang sering menemani atau karena setelah diskusi dengan ayah atau mungkin karena memang sudah lelah berada di titik jenuh, ingin menjadi produktif kembali.

Tapi saya bersyukur karena berada di titik jenuh dan bosan ini, saya teringat sebuah nasihat dari seorang Fahri pada film Ayat-Ayat Cinta 2, “Terkadang kita harus mundur dahulu untuk melompat lebih jauh lagi”. Tapi saya rasa saya mundur terlalu lama jadi harus berlari dahulu untuk melompat lebih jauh. Yang terpenting, carilah orang yang bersedia menemanimu saat kamu terjatuh atau saat kamu berada diatas. Dan terimakasih untuk kamu, iya kamu

comments powered by Disqus