Februari, bulan penuh cinta, katanya. Tapi yang kuterima hanya janji-janji, menunggu kabarmu yang tak lekas kembali. Hingga langit diatas mulai bosan menumpahkan tangisnya, untuk menutupi air mata kesedihan yang mengalir dari bola mataku. Begitu pula dengan sang bintang, bosan menampakkan sinarnya menemani gelapnya hari tanpamu.
Disaat yang sama dia datang tanpa aba-aba, mendobrak pintu hati yang sudah tertutup rapat hanya untukmu, datang dengan sebuah cokelat dan sebuah surat. Meminta aku menjadi pasangannya dikemudian hari, berjanji untuk mencintai sepenuh hati.
Naas, hati dan akalku tidak selaras, sang hati meminta agar tetap menanti tapi akalku memilih dia yang berjanji mencintai sepenuh hati. Namun ketika aku hendak memilihnya, ternyata dia sudah bersama pasangannya, dan ketika aku memilih menantimu, kuterima surat pernikahanmu
Februari, bukan bulan penuh cinta, hanya bulan pengundang lara. Dimana manusia banyak mengobral cintanya, janji manisnya, lalu pergi begitu saja. Mengatakan sumpah setia, mengatasnamakan sebuah cinta, tapi nyata berkhianat dengan segala cara